Senin, 10 Agustus 2020

YANG TERSISA DARI TEOLOGI

Beberapa waktu lalu, tanggal 19 Mei 2020, kita kehilangan seorang teolog (sekaligus apolget)  yang ternama, Ravi Zacharias. Beliau telah melalang buana untuk memberikan berbagai ceramah ataupun kuliah. Lebih dari itu, tidak hanya soal “apa yang ia ucapkan dan ajarkan”, sikap hidupnya telah menjadi “teladan”. Antara teologi dan sikap hidupnya, selaras. Itu adalah sebuah daya tarik yang seimbang, tidak berat sebelah.

Ada fakta menarik yang mungkin telah kita lihat, atau bahkan kita alami sendiri, bahwa adanya ketimpangan antara teologi dan sikap hidup. Seringkali, orang sulit memisahkan antara personalitas seseorang dengan teologi yang dia anut. Kesulitan ini disebabkan karena soal “sikap hidup” tadi.

Ketika seseorang yang memiliki pandangan teologi tertentu yang dinilai cukup atau sangat baik, namun sikap hidupnya tidak menjadi teladan, maka penilaian tersebut akan bermuara pada empat fakta: pertama, orang-orang tetap menerima ajarannya (teologinya) dan menyingkirkan “sikap hidupnya”; kedua, orang-orang menerima sikap hidupnya, dan menyingkirkan teologinya (yang miring itu); ketiga, tidak menerima keduanya; dan keempat, ini yang lebih ekstrem lagi, yaitu ada orang-orang “menerima keduanya”.

Dalam sejarah, empat fakta di atas muncul dalam setiap agama mana pun. Dalam tubuh Kristen, tampak kerancuan dalam berteologi telah memunculkan sejumlah respons positif maupun negatif, termasuk “orang-orang” memperlihatkan salah satu dari fakta empat fakta yang telah saya sebutkan di atas.

Saat ini, proses berteologi masih BERLANJUT, SEMAKIN HANGAT, dan SEMAKIN MESRA. BERLANJUT, menunjukkan bahwa ajaran-ajaran rasuli yang diwariskan dari zaman ke zaman, tetap dipertahankan oleh orang-orang percaya. Ajaran-ajaran tersebut dihidupi dalam totalitas hayati sebagai tanggung jawab iman.

SEMAKIN HANGAT, menunjukkan bahwa ada perbedaan paham (pemikiran)—jika tidak dikatakan sebagai kontradiksi total—mengenai aspek-aspek substansial maupun non-substansial. Riak-riak keributan teologi seringkali berkutat pada aspek-aspek non-substansial. Misanya, apakah Yudas masuk neraka atau tidak?; apakah penganut ajaran Calvin (Calvinisme) itu sesat dan masuk neraka atau tidak?; apakah penganut Arminian (Arminianisme) sesat dan masuk neraka atau tidak? Adakah kontribusi Pak Stephen Tong bagi negara? (ini celoteh seorang Kristen beberapa waktu lalu); mengapa orang Kristen tidak dapat menghafal Alkitab; dan masih banyak lagi.

Ada sejumlah aspek non-substansial yang diributkan, bahkan diobok-obok, sehingga menimbulkan “busa-busa” kotor pada riak-riak tersebut. Ada pula yang membela “tokoh-tokoh” tertentu—meski pengajarannya sesat, menyesatkan, dan tersesat, bahkan menyimpang—dengan cara “memuji-mujinya” ibarat calon anggota dewan menang dalam pemilihan dengan cara memanipulasi data pemilih. Entah ini disebut seimbang atau pincang, biarlah publik yang menilainya.

Kebutaan dalam berteologi telah membuat orang-orang Kristen salah sasaran. Yang dicari adalah “superioritas teolog” ketimbang sikap hidupnya. Seorang buta tentu meraba-raba; ia kehilangan arah dan tak tahu arah pulang. Kebutaan dalam berteologi memperlihatkan “pukulan-pukulan” untuk meninju tidak tepat sasaran. Bahayanya adalah ketika “pukulan-pukulan” itu ditujukan pada pohon Aras dari Libanon, batu besar, atau angin.

Maraknya “teologi-teologi” angin—yakni teologi-teologi yang hanya ditiupkan untuk menghibur pada pendengar tanpa menyentuh aspek-aspek spiritual, moralitas, dan relasional (kita dengan Tuhan dan sesama [dalam persekutuan]). Lalu, apa yang tersisa dari teologi?

Berteologi itu asyik dan menyenangkan. Tetapi ketika teologi itu tidak semestinya dilakukan, maka hasilnya tidak memuaskan. Meski berteologi itu asyik dan menyenangkan, kita tidak boleh melupakan sikap hidup sebagaimana yang Yesus ajarkan: Kamu adalah Garam dan Terang Dunia. Koherensi antara teologi dengan sikap hidup adalah sebuah niscaya.

Berteologi adalah realisasi dari apa yang kita “tahu” tentang Yesus Kristus berdasarkan warisan iman yang termaktub dalam Alkitab (hal ini masuk dalam kategori “BERLANJUT”). Sedangkan sikap hidup adalah realisasi dari iman kepada Yesus Kristus. Beriman tidak hanya “mengetahui” apa yang diajarkan Alkitab, melainkan juga “melakukan” apa yang diajarkan Alkitab. Ini sangat seimbang.

Terakhir, SEMAKIN MESRA menunjukkan kualitas antara teologi dengan sikap hidup secara seimbang, konsisten, dan ekspansif. Teknologi informasi yang sedemikian maju, dapat dipakai secara media untuk menunjukkan KEMESRAAN antara teologi dan sikap hidup, sehingga menjadi sangat ekspansif. Teologi yang kita bangun dan kita kabarkan hanya menyisahkan “sikap hidup” untuk menjadi teladan. Sikap hidup mencerminkan apa yang kita tahu, termasuk teologi. Teologi—yang terus dikembangkan dan digumuli—sangat menentukan sikap hidup seseorang.

Konsistensi dalam berteologi juga penting. Konsistensi bukan mengacu pada serangkaian konsep atau pemikiran yang terpisah dari konteks Alkitab, melainkan sebuah kondisi di mana teologi yang kita bangun dan kembangkan (ajarkan) didasarkan pada pemahaman yang komprehensif.

Alkitab menjadi “media utama” untuk melihat berbagai ajaran yang akan membimbing, mengarahkan, dan memimpin kita menuju kehidupan yang dikehendaki Allah. Teologi bukan hanya sekadar bagaimana kita berbicara, menyampaikan argumentasi, meluruskan pandangan yang keliru, tetapi juga menekankan sikap hidup yang benar di hadapan Tuhan dan sesama kita.

Kita tidak hanya berurusan dengan Tuhan yang tak kelihatan itu, tetapi juga berurusan dengan sesama kita di mana kita dapat mengajarkan mereka untuk mengikuti ajaran Alkitab dan membentuk kehidupan mereka menjadi seperti yang Tuhan kehendaki.

Yang tersisa dari teologi—seperti yang terjadi pada Ravi Zacharias—adalah sikap hidupnya yang selaras dengan apa yang ia pahami dari Alkitab. Ia telah menjadi teladan tidak hanya pemikirannya (teologinya), melainkan juga sikap hidupnya.

Jangan jadikan teologi untuk memenuhi “nafsu-nafsu” yang terselubung; jangan gunakan teologi untuk menyerempet warisan-warisan yang telah diberikan kepada kita di sepanjang sejarah; jangan jadikan teologi sebagai landasan kesombongan kita untuk mencuatkan “diri” ketimbang sikap hidup kita sendiri. “Kamu adalah Garam dan Terang Dunia”—“Kamu adalah Penjala Manusia”, dan itulah yang menjadi sikap hidup kita dalam berteologi. Teologi adalah alat untuk “memberitakan Injil” melalui kata (pewartaan) dan sikap hidup (perbuatan).

Waspadalah, jangan sampai teologi kita hanyalah sebuah upaya menjaring angin.

Tuhan Yesus Memberkati kita semua. Salam Bae

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FILSAFAT KESOMBONGAN

Sikap sombong adalah sebuah fakta. Kesombongan lahir dari hati seseorang dengan berbagai latar belakang. Hal ini wajar, jika ada alasan untu...